Wednesday, August 10, 2011

Ini Kerja Jamaah, Bukan Infiradhi

“Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani,karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”

Ini Kerja Jamaah, Bukan Infiradhi

Di suatu pagi, seorang ukhti kita tampak semangat memaparkan konsep program kerjanya pada majelis syura. Dia yakin inilah yang dibutuhkan jurusannya. Semua sepakat, without any complain. Hanya beberapa masukan yang terdengar.

Mereka mulai bekerja. Koordinasi dan konsolidasi tim. Tampak semangat, terlebih lagi sang ukhti sang inisiator. Hari berganti, satu persatu timnya gugur. Ukhti kita masih survive. Bulan bergant, tidak ada progress kerja dakwah yang berarti, target rekrutmen belum bisa dijangkau. Mereka masih terus berkutat dengan internalnya,SDM makin minim, semangat ukhti kita mulai mengendur. Support yang dia harapkan ternyata tak mucul,ukhti kita kehilangan semangatnya. Dan setelahnya, bisa dengan mudah di tebak…satu per satu mujahid gugur dalam menjalankan misinya,termasuk ukhti kita.

***

Murabbi saya beberapa kali menekankan akan kewajiban berjamaah, bahkan beliaupun dengan lugas,meminta kami untuk menyerukan kepada siapa saja akan urgensi berjamaah. Saya juga ingat dengan jelas ada seorang senior dakwah saya di daerah yang menitipkan sebuah pesan sekaligus doa yang berbunyi “tetaplah bersama jamaah” sebelum melepas kepergian saya di kala hendak merantau. 

Dan Alhamdulillah, saya masih disini, dalam naungan jamaah. Suatu kesyukuran yang luar biasa. Allah swt. Telah mengistimewakan kita untuk menerima nikmat ini. Suatu karunia  terbaik setelah nikmat keimanan.

Jamaah mengajarkan saya untuk berdaya (amal jama’i). mengerahkan potensi untuk melakukan gerakan penyadaran umat. Amal jama’i adalah kerjasama bukan kerja sendiri-sendiri (amal nafsi). Karena dengan bersama kita akan saling menguatkan,seperti bangunan yang kokoh dan akan lebih mudah mengeksekusi kerja-kerja dakwah.

Namun, menjadi suatu catatan tersendiri bagi saya, melihat munculnya celah amal nafsi dalam tubuh kita. Sebut saja seperti contoh di atas. Seorang ukhti yang mengkonsep sendiri kerja jamaahnya, akhirnya harus menanggung kerjanya sendiri, karena semangat juang kader yang mengendur. Alhasil beliau pun taklid, mundur dengan tidak ada hasil yang dicapai. Ini hanya salah satu contoh dari berbagai masalah jamaah khususnya kampus pada saat ini. Belum lagi terdengar kabar, seorang ikhwah rela meninggalkan tugas besarnya untuk mengurusi kegiatan yang ternyata kekurangan panitia, kalaupun ada malah acuh tak acuh dengan kerjanya. Atau katakanlah contoh paling simple; dalam sebuah kerja kepanitiaan ada seorang akhwat (div.konsumsi) yang tidak sanggup mengangkat air galon, beliau kemudian meminta diangkatkan air galon itu kepada seorang ikhwan, namun dengan ketusnya sang ikhwan berkata “kan galonnya tidak lebih besar daripada anti…” Astagfirullah al’adzim.Inikah yang namanya kerja dakwah??? Sekelumit kisah di atas hanyalah contoh. Masih banyak lagi kisah tentang distribusi amanah, disorientasi dakwah,dsb.

Sungguh bukan ini yang kita harapkan dari kerja-kerja jama’i. Konseptor hanyalah seorang penggagas, idenya kembali lagi diserahkan ke majelis, tidak bararti idenya adalah suatu ketetapan mutlak, namun justru harus mendengar masukan,saran dan kritikan dari berbagai pihak. Itulah kenapa syura dijadikan sebagai media untuk mendapatkan suatu kesepakatan. Dengan harapan semua yang ada dalam majlis paham dan termotivasi untuk menjalankan agenda. Sehingga outputnya adalah sinkronisasi konsep dan kerja yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan, bukan hanya penggagas atau mas’ulnya saja. 

Begitu juga dengan seorang ‘amir dalam kepanitiaan, harus mampu mendelegasikan kerja dan bukan malah menanggung kerja. Karena pada prinsipnya kerja jama’i adalah untuk mempermudah. Begitu pula dengan kerja sama antara ikhwan dan akhwat. Sangat dibutuhkan karena mereka adalah partner bukan magnet yang saling bertolak. Mustahil, ketika ada akhwat yang sanggup menyelesaikan sendiri pekerjaannya tanpa bantuan dari ikhwan (bukan bermaksud untuk merendahkan) begitupun sebaliknya. Di lain pihak, juga dihadapkan dengan distribusi amanah, hati-hati jangan sampai kita menjadi zhalim kepada saudara kita karena tidak merata pembagian kerja.

Berkaca dari berbagai fenomena di atas, kita patutnya merenungi lagi setiap langkah kita dalam jama’ah ini. Apakah kita sedang beramal jama’i atau tanpa kita sadari kita telah tergiring untuk beramal nafsi, atau bahkan kita yang mendzalimi saudara kita dengan berbagai kerja sementara kita justru terlena dalam zona nyaman. Naudzubillahi min dzaalik...

Yang harus kita lakukan adalah kembali :

1. Memahami urgensi amal jama’i termasuk menjaga amanah yang diberikan 
2. Menghargai syura sebagai median lahirnya pemahaman dan kesepakatan dalam amal 
3. Berkomunikasi intens dan menjaga silaturahim sehingga kita bisa mendapat kembali injeksi kekuatan dalam bekerja 
4. Membangkitkan kesadaran individual 
5. Memohon ke-istiqomahan pada Allah swt dalam mengemban amanah dakwah. 

Ya...memang mungkin masih banyak cara selain yang dikemukakan di atas. Sebagai orang yang terlibat langsung dalam amanah dan aktivitas dakwah, kitalah yang paling mengetahui penyakit yang ada pada diri kita sendiri dan bagaimana cara mengobatinya. Pertanyaannya adalah....kapan kita akan mengobatinya???


Insya Allah...SEGERA!


Wallahu 'alam bishshowwab...




*Untuk diri sendiri

No comments:

Post a Comment

Thanks For Ur Comment