Ini Kerja
Jamaah, Bukan
Infiradhi
Di suatu pagi, seorang ukhti kita
tampak semangat memaparkan konsep program kerjanya pada majelis syura. Dia yakin
inilah yang dibutuhkan jurusannya. Semua sepakat, without any complain. Hanya
beberapa masukan yang terdengar.
Mereka mulai bekerja. Koordinasi dan
konsolidasi tim. Tampak semangat, terlebih lagi sang ukhti sang inisiator. Hari berganti, satu persatu timnya gugur. Ukhti kita masih
survive. Bulan bergant, tidak ada progress kerja dakwah yang
berarti, target rekrutmen belum bisa
dijangkau. Mereka masih terus berkutat dengan internalnya,SDM makin minim, semangat ukhti kita mulai mengendur.
Support yang dia harapkan ternyata tak mucul,ukhti
kita kehilangan semangatnya. Dan setelahnya, bisa dengan mudah di tebak…satu per satu
mujahid gugur dalam menjalankan misinya,termasuk ukhti kita.
***
Murabbi saya beberapa kali menekankan
akan kewajiban berjamaah, bahkan beliaupun dengan lugas,meminta kami untuk
menyerukan kepada siapa saja akan urgensi berjamaah. Saya juga ingat dengan
jelas ada seorang senior dakwah saya
di daerah yang menitipkan sebuah pesan sekaligus doa yang berbunyi “tetaplah
bersama jamaah” sebelum melepas kepergian saya di kala hendak merantau.
Dan Alhamdulillah, saya masih disini,
dalam naungan jamaah. Suatu kesyukuran yang luar biasa. Allah swt. Telah
mengistimewakan kita untuk menerima nikmat ini. Suatu karunia terbaik setelah nikmat keimanan.
Jamaah mengajarkan saya untuk berdaya (amal jama’i). mengerahkan
potensi untuk melakukan gerakan
penyadaran umat.
Amal jama’i adalah kerjasama bukan kerja sendiri-sendiri (amal nafsi). Karena
dengan bersama kita akan saling menguatkan,seperti bangunan yang kokoh dan akan
lebih mudah mengeksekusi kerja-kerja dakwah.
Namun, menjadi suatu catatan
tersendiri bagi saya, melihat munculnya celah amal nafsi dalam tubuh kita. Sebut
saja seperti contoh di atas. Seorang
ukhti yang mengkonsep sendiri kerja jamaahnya, akhirnya harus menanggung
kerjanya sendiri, karena
semangat juang kader yang mengendur.
Alhasil beliau pun taklid, mundur dengan tidak ada hasil yang dicapai. Ini
hanya salah satu contoh dari berbagai masalah jamaah khususnya kampus pada saat
ini. Belum lagi terdengar kabar, seorang ikhwah
rela meninggalkan tugas besarnya untuk mengurusi kegiatan yang
ternyata kekurangan panitia, kalaupun ada malah acuh tak acuh
dengan kerjanya. Atau katakanlah contoh paling simple; dalam sebuah kerja kepanitiaan ada seorang
akhwat (div.konsumsi) yang tidak sanggup mengangkat air galon, beliau kemudian meminta diangkatkan air galon itu kepada seorang ikhwan, namun dengan ketusnya sang
ikhwan berkata “kan galonnya tidak lebih besar daripada anti…” Astagfirullah al’adzim.Inikah yang
namanya kerja dakwah??? Sekelumit kisah di atas hanyalah contoh. Masih banyak lagi kisah
tentang distribusi amanah, disorientasi dakwah,dsb.
Sungguh bukan ini yang kita harapkan
dari kerja-kerja jama’i. Konseptor
hanyalah seorang penggagas, idenya kembali lagi diserahkan ke majelis, tidak bararti idenya adalah
suatu ketetapan mutlak, namun
justru harus mendengar masukan,saran dan kritikan dari berbagai pihak. Itulah kenapa syura
dijadikan sebagai media untuk mendapatkan suatu kesepakatan. Dengan harapan
semua yang ada dalam
majlis paham dan termotivasi untuk menjalankan agenda. Sehingga outputnya adalah sinkronisasi
konsep dan kerja yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan, bukan hanya
penggagas atau mas’ulnya saja.
Begitu juga dengan seorang ‘amir dalam
kepanitiaan, harus mampu mendelegasikan kerja dan bukan malah menanggung kerja.
Karena pada prinsipnya kerja jama’i adalah untuk mempermudah. Begitu pula dengan
kerja sama antara ikhwan dan akhwat. Sangat dibutuhkan karena mereka adalah
partner bukan magnet yang saling bertolak. Mustahil, ketika ada akhwat yang sanggup
menyelesaikan sendiri pekerjaannya tanpa bantuan dari ikhwan (bukan bermaksud
untuk merendahkan) begitupun sebaliknya.
Di lain pihak, juga dihadapkan dengan distribusi amanah, hati-hati jangan
sampai kita menjadi zhalim kepada saudara kita karena tidak merata pembagian
kerja.
Berkaca dari berbagai fenomena di atas,
kita patutnya merenungi lagi setiap langkah kita dalam jama’ah ini. Apakah kita
sedang beramal jama’i atau
tanpa kita sadari kita telah tergiring untuk beramal nafsi, atau bahkan kita
yang mendzalimi saudara kita dengan berbagai kerja sementara kita justru terlena dalam zona nyaman. Naudzubillahi min dzaalik...
Ya...memang mungkin masih banyak cara selain yang dikemukakan di atas. Sebagai orang yang terlibat langsung dalam amanah dan aktivitas dakwah, kitalah yang paling mengetahui penyakit yang ada pada diri kita sendiri dan bagaimana cara mengobatinya. Pertanyaannya adalah....kapan kita akan mengobatinya???
Insya Allah...SEGERA!
Wallahu 'alam bishshowwab...
*Untuk diri sendiri
Yang harus kita lakukan adalah kembali :
1. Memahami urgensi amal
jama’i termasuk menjaga amanah yang diberikan
2. Menghargai syura
sebagai median lahirnya pemahaman dan kesepakatan dalam amal
3. Berkomunikasi intens dan menjaga silaturahim sehingga kita bisa mendapat kembali injeksi kekuatan dalam bekerja
4. Membangkitkan kesadaran
individual
5. Memohon ke-istiqomahan pada Allah swt dalam mengemban amanah dakwah. Ya...memang mungkin masih banyak cara selain yang dikemukakan di atas. Sebagai orang yang terlibat langsung dalam amanah dan aktivitas dakwah, kitalah yang paling mengetahui penyakit yang ada pada diri kita sendiri dan bagaimana cara mengobatinya. Pertanyaannya adalah....kapan kita akan mengobatinya???
Insya Allah...SEGERA!
Wallahu 'alam bishshowwab...
*Untuk diri sendiri
No comments:
Post a Comment
Thanks For Ur Comment