Saturday, July 7, 2012

Time Goes On













Setiap hari kita digiring oleh rutinitas yang ritmenya selalu sama; dua puluh empat  per tujuh. Dua puluh empat jam dan tujuh hari, dikalikan, hasilnya seratus enam puluh delapan jam, modal waktu yang sama bagi setiap makhluk bernyawa bernama manusia untuk berkehidupan dimuka bumi. Namun sama belum tentu setara, meski keduanya memiliki makna yang bersisian. Jika dua puluh empat, tujuh, dan seratus enam puluh delapan adalah angkaangka kardinal, sama, dalam satu bilangan waktu, maka setara ialah nilai yang melekat di dalamnya, kadar.

Ke-sama-an waktu memberi manusia kesempatan untuk memerankan lakonlakon alamiah, meski dalam durasi usia yang terbatas. Tidak ada skenario artifisial yang mengkebiri takdir dan memaksa untuk selalu berakhir happy ending. Yang kita alami adalah apa yang telah tersirat pada garis tangan, menjalani pilihan hidup dalam lintasan kehendak; menjadi pemenang atau pecundang. Ke-setara-an kemudian menemukan wujudnya. Dan seperti itulah cerita episode kehidupan.

Kemarin, menyeruput kopi panas, memangku kaki, membaca berita hangat menjadi ritual yang tak pernah luput selepas subuh. Kita memulai hari dengan raut berbinar seiring mentari yang merengsek naik dengan wajah bersinar. Kecupan hangat diiringi senyum bidadari dan malaikatmalaikat kecil melepas kepergian raga, membanjirlah cinta yang siap menghanyutkan energi pada semesta. Jelas, kita masih berkarib dengan waktu dan jeda bagi kita adalah anugerah.

Semakin hari aktivitas manusia semakin canggih. Ritualritual manusiawi tergerus, hambar, hanya menyisakan sedikit ruang untuk merasakan debaran makna. Kita mendorong diri jauh ke dalam dinamika zaman hingga tak terasa siang telah serupa malam dan malam telah serupa siang. Tak ada bedanya, pergi pagi-pulang pagi, jeda bagi kita sesuatu yang haram. Akhirnya pagi tak lagi ramah, hanya ada wajah kuyu dan tubuh yang tersepuh kaku. Cinta tak lagi berbuah energi.

Lantas apa bedanya kita dengan pecundang yang dipecundangi waktu, jika impian kemenangan diraih dengan egoisme yang memenjarakan diri dari realitas yang ada? Tidak ada bedanya, kita sama dan setara dengannya, tersempal jauh ke dalam pergumulan eksistensi, mengacuhkan jeda, meminggirkan kehidupan, bahkan melupakan peradaban.

Sang waktu hanya bisa menatap, meratapi dari kejauhan. Sungguh, manusia dalam kerugian.

No comments:

Post a Comment

Thanks For Ur Comment